Surat untuk Pak Nadiem

Surat ini ditulis oleh putri saya setahun lalu.

Tadinya mau buat lomba, tapi begitu naskah dikirim, penyelenggaranya menghilang.

Ketika saya beres-beres file, muncullah surat ini.

Saya post di sini saja 🙂

Bandung, 2 April 2020

Assalaamualaikum,

Pak Nadiem, apa kabar?

Semoga Bapak selalu sehat, amin.

Nama saya Qosima, kelas VII SMPN 37 Bandung. Sekolah saya di dekat rumah, jadi saya jalan kaki pulang pergi. Bersama teman-teman, saya biasa lewat gang-gang kecil. Lebih aman daripada lewat jalan besar tapi sering macet. Tikungannya seram, sering membuat saya kaget karena mendadak ada kendaraan dari depan.

Buat saya, berangkat dan pulang sekolah bersama-sama itu seru, apalagi kalau musim hujan. Di tas saya selalu ada sandal jepit dan payung. Jadi begitu hujan turun, saya dan teman-teman lepas sepatu, lalu menerobos jalan dan gang-gang yang penuh genangan air.

Kalau hujan deras dan lama, jalan menuju rumah pasti banjir. Saya cemas tapi senang juga, soalnya bisa main air di jalan sambil bercerita dengan teman-teman. Saya tahu airnya kotor, kan luapan dari selokan. Tapi saya bisa cuci kaki di rumah. 

Kalau hari panas, saya dan teman-teman berjalan berputar-putar dulu supaya punya lebih banyak waktu bercerita. Walau sudah seharian bersama di sekolah, berjalan bersama sepulang sekolah itu menyenangkan.

Tiba-tiba kesenangan itu hilang. Karena corona, kami harus belajar di rumah.

Serius, Pak Nadiem.

Dua minggu belajar di rumah itu sudah lama sekali. Eh, setelah itu, ternyata  diperpanjang dua minggu lagi. Sejak mulai belajar di rumah, saya tidak pernah menginjak aspal jalanan. Keluar rumah untuk membeli camilan pun tidak. Membosankan sekali.

Selain bosan, tugas juga menumpuk. Dalam sehari, kami bisa dapat enam tugas dari mata pelajaran yang berbeda! Biarpun waktunya masih banyak, entah mengapa saya merasa sedikit terbebani. Mengerjakan satu soal saja tidak bisa fokus karena memikirkan tugas-tugas lainnya.

Sudah pasti bukan hanya saya yang pusing. Teman-teman sekelas saya juga ribut saling bertanya. Grup di hape yang biasanya sepi sekarang selalu berbunyi, penuh dengan pertanyaan. Tentu saja grup kelas tidak hanya satu, karena pelajarannya kan banyak. Hape saya yang lelet terus bergetar dan berdering.

Guru-guru saya juga meminta muridnya difoto ketika sedang mengerjakan tugas sebagai bukti. Ada yang minta kami membuat video juga. Tujuannya biar kami benar-benar belajar. Tapi kadang itu merepotkan. Yah, memang hari-hari pertama belajar di rumah sangat berantakan. Belum lagi kegiatan lainnya.

Selain sekolah, saya juga menekuni olahraga wushu, khususnya taiji. Biasanya saya latihan di sasana empat kali seminggu.

Karena sedang ada wabah, latihannya juga jadi di rumah, deh. Saya latihan di tempat jemuran. Ibu saya selalu menyuruh saya dan kakak-kakak berjemur. Di tempat jemuran itu saya harus pakai sepatu karena banyak batu dan kerikil. Lantainya juga tidak rata, ditambah ada tiang dan tali jemuran. Jadi susah sekali bergerak dengan benar.

Setiap pagi saya latihan sambil ditemani Ibu. Saya skipping, latihan fisik, latihan kuda-kuda, dan latihan jurus. Ibu ikut berjemur, kadang sambil menjemur baju. Kadang kakak-kakak saya juga ikutan biar saya semangat. Tapi tetap saja, latihan di rumah itu aneh rasanya.

Dipikir-pikir, jadwal di sasana kan empat kali seminggu, sekarang saya jadi latihan setiap hari. Baru sebentar, keringat saya mengucur terus. Bukan hanya karena capek, tapi juga karena berjemur di bawah sinar matahari yang begitu terik!

Pak Nadiem,

Beneran. Latihan sendirian itu tidak menyenangkan. Saya dan teman-teman biasa latihan dua jam tanpa henti di sasana dan tetap senang. Kalau sendiri, 30 menit saja saya sudah capek, tidak mood, lalu cari gara-gara biar bisa istirahat atau berhenti. Ambil minum, lah. Ke kamar mandi, lah. Sepatu kemasukan kerikil, lah. Atau cek hape siapa tahu ada tugas. Kalau sudah begitu, Ibu pasti mengomel.

Tapi, yang paling membuat saya heran adalah banyak anak yang masih saja bermain di luar. Entah siapa mereka, saya tidak kenal. Mereka main bareng-bareng, bersepeda, bahkan naik sepeda motor hingga malam tiba. Seperti sedang liburan!

Beberapa teman sekolah saya juga bilang biasa saja keluar rumah, santai saja dengan larangan tidak boleh keluar rumah sembarangan. Padahal ada risiko tertular dan ikut menyebarkan wabahnya. Beberapa teman lain mengingatkan, lalu jadi bertengkar di grup.

Pak Nadiem,

Saya bosan sekali di rumah terus.

Saya ingin segera kembali ke sekolah bertemu lagi dengan teman-teman. Saya juga ingin ke sasana. Saya rindu matrasnya. Di rumah, saya tidak berani lompat karena takut cedera. Saya juga rindu pergi latihan diantar Ibu, lalu singgah beli susu murni di pinggir jalan.

Itu saja cerita saya, Pak. Maaf jadi curhat macam-macam. Saya sekarang berusaha senang dan tidak bete lagi. Kan rugi, saya marah-marah juga tetap tidak bisa keluar. Saya berdoa berharap semua ini cepat selesai dan bisa keluar rumah lagi tanpa rasa was-was.

Terima kasih atas waktu Bapak membaca surat ini.

Wassalamualaikum,

Qosima Luthfa Anvari.  

OBOR BLARAK

OBOR BLARAK

 

Tahun lalu saya dipameri foto pesohor yang berhasil mengurangi berat badan. Semangat saya menggebu-gebu ingin melakukan hal yang sama. Berikutnya, suami saya beli sepeda (lagi) dan saya jadi bersepeda ke warung atau sekadar gaya-gayaan keliling kampung—sebenarnya sambil mengeluh sepanjang jalan karena beratnya kaki mengayuh.

 

Dari Youtube saya menyimak presentasi tentang pentingnya menata wadah-wadah di lemari dapur. Saya langsung praktik dan mendapatkan manfaatnya. Kepada dokter gigi saya berjanji untuk tidak makan yang keras-keras agar tambalan saya tidak lepas lagi, lagi, dan lagi.

 

Dengan semangat membara saya tularkan aneka tekad itu di media sosial. Gaya banget, lah, pokoknya! Saya memajang foto makanan sehat, menge-post foto sedang bersepeda, mengomel ketika lemari dapur berantakan, dan menolak keripik basreng yang menggoda. Pendek kata, militan!

 

Kurang dari seminggu, militansi itu kendur satu demi satu. Saya nglali alias sengaja lupa saat memilih jenis makanan, nglali bahwa telur gabus yang alot bisa merontokkan tambalan. Saya berhenti bersepeda dengan alasan tidak bisa cepat atau tidak sempat. Wadah-wadah di dapur mulai tidak jelas mana mangkuk dan mana tutupnya.

 

Padahal beberapa hari sebelumnya saya begitu bersemangat. Peribahasa Inggris menyebutnya new brooms sweep clean. Sapu yang masih baru hasil sapuannya bersih (ada juga, sih, sapu yang malah mengotori lantai saat dipakai—mungkin tukang bikinnya atau tukang sapunya kurang profesional). Begitu sapu mulai usang, kualitas sapuannya kian berkurang.

 

Dalam bahasa Jawa ada istilah obor blarak.

Fyi, blarak itu sebutan untuk daun kelapa kering. Sifatnya mudah terbakar. Ketika dinyalakan, api yang dihasilkannya besar dengan bunyi berisik, plus percikan bara ke mana-mana.

Wusss!

Api menyala-nyala, lantas padam tak lama kemudian, karena pada dasarnya yang dibakar hanyalah daun kering yang tipis. Bara yang dihasilkan pun nyaris tidak bersisa, langsung menghitam begitu angin berhenti berembus.

 

Dalam belajar, kadang saya kena gejala obor blarak ini.

Menggebu pada saat awal, lantas meredup tanpa proses dan hasil yang jelas. Ingin ini ingin itu, heboh tak tentu ingin jadi seperti ini atau seperti itu, kemudian padam sambil lalu. Maklum, anak muda #annanglaliumur

Watak blarak memang mudah padam. Itu kemestiannya, jadi sama sekali bukan salahnya. Hanya blarak KW alias sintetis yang nyalanya awet 😀

 

Jadi, untuk menjadi kayu yang bisa jadi bara yang bagus, yang bisa mematangkan banyak hidangan, atau menghangatkan ruangan, perjalanan saya masih panjang.

Saya kan masih muda #anothernglali

 

Salam takzim,

Anna Farida

 

 

LITERASI ANAK: PERGESERAN PARADIGMA

cerpen

FL2N 2018 Bidang Cerpen

LITERASI ANAK: PERGESERAN PARADIGMA
Oleh: Anna Farida

Tiga puluh tujuh anak khusyuk menghayati kertas folio bergaris. Pena di tangan mereka bergerak dengan irama yang beraneka. Kadang kepala mereka mendongak, menatap langit-langit, mungkin sedang menata kalimat di kepala.

Anak-anak ini datang dari sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah, atau yang sederajat dari berbagai penjuru Indonesia. Selain utusan dari provinsi di Pulau Jawa yang masih mendominasi, ada peserta dari Bali, Bali, Jambi, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Riau, Kalimantan Barat, juga Sumatra Barat. Mereka terpilih sebagai finalis lomba menulis cerpen, menyisihkan lebih dari empat ratus naskah lain.

27-31 Oktober 2018 berlangsung kegiatan Festival dan Lomba Literasi Nasional (FL2N) Sekolah Dasar 2018, yang diselenggarakan oleh Subdit Peserta Didik Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Pada kegiatan ini, lima bidang lomba dipertandingkan: menulis cerita pendek, baca puisi, cipta pantun, cipta syair, dan mendongeng. 165 peserta terpilih sebagai finalis dari seluruh Indonesia dan unjuk kebolehan di hadapan para juri yang terdiri dari para akademisi dan praktisi literasi anak.

Tema besar yang diusung adalah “Literasi Membangun Pembelajar Sepanjang Hayat” dan tahun ini anak-anak berkarya dengan tema khusus memperkenalkan budaya daerah dalam bingkai keindonesiaan yang damai.

Sebagaimana dijabarkan dalam Petunjuk Teknis FL2N 2018, salah satu tujuan kegiatan ini adalah memotivasi peserta didik untuk meningkatkan budaya membaca dan menulis sejak dini, juga mendorong tumbuhnya semangat kebersamaan dalam keberagaman.

Ketika melakukan seleksi untuk menentukan finalis, para juri saling berbagi evaluasi berkaitan dengan karya anak-anak. Dari bidang cerpen, yang ditemukan adalah mulai bergesernya cara pandang anak-anak terhadap relasi sehari-hari.

Tema keragaman budaya yang disodorkan pada finalis sebagian menjelma menjadi tulisan yang sederhana, unik khas anak-anak, ada pula yang agak too good to be true. Ada anak yang berkisah tentang perselisihan dua kelompok masyarakat beda suku dan akhirnya bisa mereka damaikan. Ada yang menulis tentang temannya dari suku lain yang kehilangan keluarga kemudian anak itu meminta orang tuanya melakukan proses adopsi. Ada juga cerita tentang anak yang bertualang ke pulau lain dan menjalin persahabatan dengan penduduk asli di sana.

Dari kacamata orang dewasa, anak-anak tampil sebagai tokoh pendamai wilayah konflik rasanya mustahil. Proses adopsi anak dari suku lain juga tidak sederhana, begitu pula bertualang ke pulau lain sendirian. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan.

Sebaliknya, anak-anak cenderung berpikir spontan dan berani melepaskan imajinasi. Pertimbangan teknis dan detail yang biasa dilakukan orang dewasa tentu bukan ranah mereka. Jangankan ke luar pulau, mendadak tersesat di luar negeri pun bisa. Tanpa harus repot mengurus visa bahkan tanpa orang tua, mereka bisa jalan-jalan ke mana-mana. Mereka bebas tanpa sekat formalitas.

Punya imajinasi yang terbebaskan adalah privelege yang kian terkikis begitu manusia mendewasa. Meski demikian, ada pula catatan kecil yang perlu dipertimbangkan. Ada paradigma yang bergeser tentang pengamatan anak-anak terhadap kehidupan sehari-hari.

Dari cerpen yang mereka tulis, terlihat bahwa tema-tema yang diambil cenderung jauh dari keseharian. Alih-alih bercerita tentang relasi yang dijalin dalam keseharian dengan keluarga atau tetangga terdekat, mereka memilih bercerita tentang hal yang dianggap lebih istimewa atau heroik.

Tema favorit mereka adalah berlibur ke tempat yang jauh atau ikut lomba yang sulit, berlatih sangat tekun bahkan dalam waktu singkat, lantas jadi pemenang. Tema pilihan lainnya adalah bertemu dengan anak yang sangat nakal kemudian menyadarkannya, menjadi penengah antara kelompok yang saling berseteru, hingga memecahkan misteri yang seru. Pendek kata, mereka memilih tema-tema yang dianggap “wow”.

Dari aspek bahasa, sebagian anak menggunakan bahasa di luar bahasa sehari-hari. Pilihan kalimat mereka cenderung formal dan berbunga-bunga, diselingi dialog yang dramatis dan tidak natural.

Yang justru jadi hiburan yang menyegarkan adalah keberanian anak-anak menyelipkan beberapa kata dalam bahasa daerah ke dalam cerita mereka. Selama pembaca yang bukan penutur bahasa itu tetap bisa mencerna maknanya, penggunaan bahasa daerah membantu penulis cilik menyajikan narasi atau dialog yang alamiah. Walau tidak banyak anak melakukannya, ini pertanda bahwa kebanggaan anak terhadap bahasa daerahnya masih ada.

Perihal pemilihan tema favorit dan penyajian bahasa pada karya anak ini hendaknya menjadi catatan bagi para guru atau pelatih mereka. Pertama, menciptakan karya yang berkualitas tetap bisa dilakukan tema yang dekat dengan keseharian.

Dengan demikian, mereka bisa menuliskannya dengan mendalam karena pernah peristiwa atau situasi tersebut pernah dialami atau diinderai.
Imajinasi tentu sah adanya, karena pada dasarnya cerpen itu bermuatan fiksi dan berisikan hal-hal khayali. Meski begitu, imajinasi yang bagus tetap perlu dilandasi oleh pengetahuan atau pengalaman yang memadai.

Kedua, cerita yang menggugah tetap bisa disampaikan kepada pembaca melalui kalimat-kalimat sederhana. Kekuatan cerita pendek ada pada tema, penokohan, setting, dan alurnya, sementara kalimat adalah sarana penyampaiannya. Kepada anak-anak semua aspek itu bisa dilatihkan perlahan-lahan, setahap demi setahap, hingga cerita demi cerita yang mereka tulis adalah teman seperjalanan mereka menuju dewasa.

Salam literasi.

Anna Farida, Juri Bidang Lomba Cerpen FL2N 2018

MAGISTER BERDASTER

1998, waktu wisuda S-1 dari IKIP Bandung, saya bawa bayi dua bulan. Setelah itu, saya memutuskan untuk tinggal di rumah.

Karena saya lulusan terbaik saat itu, banyak teman bertanya-tanya mengapa saya “cuma” ngasuh anak. Ada yang penasaran apakah saya dirumahkan oleh suami saya.

BIG no. Menikah tidak membuat saya kehilangan kemerdekaan. Membaktikan diri pada keluarga adalah pilihan saya. Gamang memang kadang datang, tapi saya kuatkan diri. Saya tanya lagi diri saya mau pilih mana.

Tahun-tahun berikutnya, bayi demi bayi lahir, balita demi balita tumbuh, anak-anak pun harus diantar ke sana kemari. Beberapa kali saya menjajal bekerja di luar rumah, tapi tidak senyaman bekerja di rumah sendiri.
Mungkin salah satu alasannya adalah agar tak perlu mandi pagi-pagi #tutupmuka.

So, saya habiskan waktu bareng keluarga, mengasuh anak-anak. Ya Allah, betapa ternyata tugas ini sangat menantang. Jangan ditanya berapa kubik air mata saya tumpahkan, doa dan keluhan yang saya bisikkan. Meski demikian, harapan tak henti saya tanam.

Untuk refreshing, saya baca buku, mencoba jadi penerjemah, belajar ngeblog, dan mulai menulis. Ada kelas-kelas online di Coursera saya ikuti, walau hanya tuntas satu kali. Pelatihan menulis saya datangi, aneka lomba menulis saya jajal, menang kalah tidak peduli.

Perlahan-lahan, dengan niat latihan, di antara waktu saya mengurus cucian piring, setrikaan, dan antar-antar anak selama belasan tahun, saya menulis buku.
Saya ini bawel, ceriwis. Saya tidak tega jika anak-anak jadi sasaran omelan harian.

Jadi, untuk mengurangi porsi dan durasi kicauan itu, saya memilih menulis.
Awalnya tulisan-tulisan itu sekadar buat wadah “muntahan”, ternyata lama-lama otot menulis saya melentur.

Hingga hari ini, tiga puluh tiga buku dengan berbagai tema saya tulis, termasuk e-book, paper, tulisan di media massa, dan ratusan artikel di blog.

Namanya juga belajar, semua ditabrak dan dihajar. Mungkin tulisan saya dangkal, saya tidak menyangkal.
Santai saja.

Fyi, saya melakukan itu semua dari rumah. Jadi, tinggal di rumah bukan berarti saya berhenti berisik lewat tulisan sambil terus belajar. Saya juga menemani para ibu belajar melalui berbagai kelas online.

Sesekali saya memang mengajar di luar, tapi kantor utama saya ya rumah. Berdaster.

Kemudian, saat putri bungsu saya mulai mandiri, saya minta izin ke suami untuk kuliah lagi. Deal! Saya dapat dukungan penuh.

Gagap pada masa awal karena sudah meninggalkan kampus delapan belas tahun, saya kembali berjuang. Tetap di antara tugas utama antar-antar anak, sambil urus jemuran, plus mengejar deadline naskah yang tiada henti.

Jadi tidak semua kisahnya manis, ya. Jungkir balik perjuangannya mirip atlet catur. Angkat benteng mandiin kuda 😀

2018, hari ini saya diwisuda lagi, dan dapat penghargaan sebagai salah satu dari dua belas peraih IPK tertinggi. Yang mendampingi saya menerima piagam Uninus adalah bayi yang dulu dua bulan itu, sekarang dua puluh tahun, sudah berkumis.

Saya tuliskan kisah ini sebagai rasa syukur dan terima kasih pada suami dan anak-anak.
Saya bagikan kenarsisan ini sebagai penyemangat bagi para ibu di rumah agar tak berhenti belajar di mana pun, melalui media apa pun, formal maupun tidak. Kita tetap bisa berkarya dan bermanfaat bagi sesama.

Nah, perayaan singkat usai, foto-foto pun selesai. Lepaskan toga, kembali ke daster, bikin telur ceplok buat anak-anak.

Salam takzim,

Anna Farida, 2018

MENULIS ITU SEMESTINYA MEMBEBASKAN

20180206_114446

Smuthers menggali ide paling umum dan paling ganjil

Saya membuat riset kecil, berdiskusi dengan sepuluh anak muda. Delapan dari mereka mengaku tidak suka menulis. Alasannya tidak bisa, tidak punya ide, males, atau semata-mata tidak suka.

Baik, akan saya buktikan bahwa semua bisa menulis.

 

Seminggu kemudian, saya bikin ribut di kelas XI SMU Plus Muthahhari Bandung. Selama satu semester, saya bakal menemani para remaja ini belajar menulis.

Pada pertemuan pertama,  kami eksplorasi kendala-kendala yang biasa muncul saat menulis. Kebanyakan menyatakan bahwa menulis itu tidak menyenangkan karena mereka takut salah dan tidak biasa.

OK, kita akan buat kelas menulis yang akan membuat mereka berani, kita jadikan menulis sebagai kebiasaan.

 

Jurus pertama, Free Writing.

Saya menggunakan buku “Free Writing” karya Hernowo Hasim sebagai panduan.

Saya sampaikan kepada pemuda-pemudi itu bahwa dalam waktu lima menit, mereka bebas menulis apa pun. Saya berjanji tidak akan membacanya, apalagi membacakannya di depan kelas.

Mereka boleh menulis rasa kesal, curhat, keluhan, apa pun. Tulisan boleh disimpan boleh dibuang. Kami melakukan FW ini beberapa kali dalam beberapa pertemuan.

 

Setelah alarm 5 menit berbunyi, saya minta mereka bercerita tentang pengalaman melakukan FW. Mereka berkata menemukan kebebasan, merasa ringan saat menulis, merasa bingung mau menulis apa, ada juga yang masih bertanya-tanya sebenarnya tujuan saya itu sebenarnya apa, haha.

 

Mungkin mereka berpikir, masa iya kelas menulis mengajarkan hal seperti itu.

Bisa jadi berdasarkan pemahaman mereka, mengarang atau menulis adalah kegiatan yang penuh aturan dan penghakiman: tunjukkan kalimat utama, gunakan ejaan yang benar, tulis tema yang bagus, bacakan di depan kelas.

Memang, ada anak yang terpapar budaya baca tulis sejak kecil, sehingga menulis sudah menjadi kebiasaan. Mereka biasa menulis spontan, misalnya dalam buku harian atau corat-coret di halaman paling belakang buku tulis, sekaligus percaya diri saat tulisan mereka dibaca orang lain.

Pada saat yang sama, ada juga anak yang tidak biasa menulis—karena tidak biasa, malu, atau takut salah tadi.

 

Bagi yang biasa atau tidak biasa menulis, FW sangat membantu.

FW membangun rasa percaya diri mereka bahwa menulis bisa mudah dan membebaskan. Mereka bebas menulis apa pun, dan tulisan itu sepenuhnya jadi milik mereka. Mereka bisa berlatih tanpa takut duluan atau malu duluan, atau duluan-duluan yang lain.

 

Dalam pertemuan berikutnya kami bahas ide-ide yang bisa diangkat jadi tulisan—dari tema yang paling mainstream sampai tema yang paling ganjil seperti bersin sambil membuka mata 😀

Mereka bisa mengambil salah satu tema yang ada untuk jadi bahan FW. Sebagian anak mengizinkan saya membaca tulisan mereka, sebagian tetap tidak mau.

Masih menikmati FW yang sangat privat, rupanya. Saya sabar saja.

 

Agar tidak bosan dengan FW—siapa tahu ada yang tidak suka—saya sampaikan juga materi copywriting. Kami belajar membuat kalimat-kalimat menarik dalam poster kegiatan dan menulis profil diri.

Saya amati cara kerja mereka dalam kelompok. Saya beri peluang bagi anak yang suka tampil untuk memaparkan poster kelompoknya, sambil sesekali saya beri trik public speaking sederhana.

 

Nah, berikutnya adalah blogging.

Minggu lalu saya ajak mereka membuat blog dan berdiskusi mengapa blog penting untuk menyimpan portofolio. Sudah SMA, penting punya rumah maya untuk menyimpan karya. Yang sudah mahir nge-blog bertugas membantu teman lain.

Hari ini, setelah beberapa pertemuan mereka bebas menulis apa pun, saya menerima kiriman tautan blog mereka.

Isinya beraneka, mulai dari kopi, game, sepeda motor kuno, sahabat, cerita di sekolah, puisi, fotografi, bale nyungcung, anime, musik, hijab, sampai kematian.

Gaya tulisan mereka penuh warna, ada yang panjang ada yang pendek.

Saya sampaikan bahwa blog ini akan dibaca publik dan mereka santai saja. Tidak ada yang berkata takut atau malu. Karena itulah saya berani memberi beberapa masukan kecil terkait tata penulisannya. Sedikiiit saja, sambil lalu saja.

 

Hari ini kami belajar, setelah nyaman menulis untuk diri sendiri, perlahan kami bakal nyaman menulis untuk publik.

Minggu depan kami sudah punya rencana lain. Mohon doa senantiasa.

 

Salam takzim,

Anna Farida

 

Ini tautan blog mereka, feel free to read and add comments 😊

https://malikahdiza18.blogspot.co.id

http://kunyukwarrior.blogspot.co.id

https://javadictivity.blogspot.co.id

https://kikiwotits15comeasyouare.blogspot.co.id/

http://ondeondee05.blogspot.co.id

http://obromarkoto72.blogspot.co.id/

http://iniblognyamd.blogspot.co.id/

http://ranisyaaw.blogspot.co.id

https://therumix.blogspot.co.id/

https://auouoel.blogspot.co.id

http://hafifah99.blogspot.co.id/

https://bosvandromen.blogspot.com/

http://stuff-discussion.blogspot.co.id/

http://arafisetiawan67.blogspot.co.id/

http://aiamareru.blogspot.co.id/

http://imah018.blogspot.co.id/

http://mutamimmah14.blogspot.co.id

PENDIDIKAN YANG BUKAN BASA-BASI

IMG_20170811_164459Untuk satu buku, saya membuat dua resensi. Yang satu dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, satu lagi di Majalah Pendidikan Jawa Barat, Suara Daerah, edisi 525 tahun 2017.

Beberapa suntingan membuat tulisan ini lebih rapi, terima kasih, Editor.

Kepada pembaca blog, saya bagikan versi aslinya:

 

 

 

Ketika menerima buku ini, nyali saya agak ciut. Bagaimana tidak, tebalnya nyaris 500 halaman dan saya bukan pembaca yang tangguh. Satu-satunya modal saya berani membaca buku ini adalah minat saya pada dunia pendidikan, khususnya pendidikan keluarga.

Judulnya menarik, “Teman Tumbuh Teman Belajar” dan saya segera dilibatkan dalam rangkaian cerita yang penuh aroma petualangan. Bagi ibu-ibu yang tinggal di daerah perkotaan, yang sangat jarang keluar rumah, membaca aneka kisah dari berbagai sudut Indonesia sungguh mendatangkan hawa  semangat dan inspirasi.

Selama ini saya berpikir bahwa pendidikan di daerah pedesaan pasti tertinggal. Sarana dan prasarananya terbatas, gurunya pun tidak berkualitas. Terlebih ketika saya membaca berita yang jadi tren di media massa dan media sosial tentang potret miris pendidikan kita. Ada anak-anak yang harus bersekolah di kandang kambing, harus melintasi jurang demi bisa masuk kelas, atau para guru yang rela dibayar dengan hasil ladang. Saya merasa nelangsa membayangkan pendidikan anak-anak di sana.

Cara pikir saya lambat laun jadi terpola, orang desa pasti tertinggal.

 

Syukurlah, saya menemukan buku yang ditulis oleh TRUE, sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendampingan masyarakat ini. Buku bersampul hijau ini mengoreksi pemahaman sekaligus membuka wawasan saya. Ternyata, tidak semua daerah tertinggal itu terbelit dengan masalah rendahnya pendidikan. Ternyata juga, ada guru-guru istimewa yang menjadi pemupuk harapan sekaligus pejuang.

Dalam keterbatasan yang ada, mereka berani berbuat tanpa menunggu dikasihani oleh pihak mana pun. Mereka bergerak karena kesadaran yang tumbuh dari kepedulian yang nyata tentang pendidikan, bukan sekadar formalitas atau atas nama tugas.

 

Salah satu bab yang menarik perhatian saya adalah bagian “Jelajah Keerom”. Di Arso, salah satu desa di pelosok Papua ini tersimpan percikan kemanusiaan. Saat dunia Barat menggaungkan pendidikan yang humanis, Arso memiliki konsep Wamep Yun—pendidikan kasih sayang. Bukan hasil riset canggih, bukan temuan ilmiah para ahli di universitas ternama dunia, konsep ini lahir dari rahim kebudayaan yang penuh ketulusan dan kebaikan.

Tak heran jika Prof. Dr. Yus Rusyana memberikan pemaknaan yang menggugah seperti ini:

Mereka membelajarkan murid dengan gaya baru dalam suasana kasih sayang dan saling menghargai. Maka murid-murid pun bangkit belajar dalam riang gembira. Wah, kelas tempat belajar pun mereka buka. Terjadilah kelas yang lapang meluas, berupa lingkungan yang penuh rona dan mempesona. Terdapat tanah, air, udara, cahaya. Tumbuhan dengan ranting dan daun berwarna-warni. Terdapat binatang di air dan di darat. Berjumpa pula dengan warga masyarakat yang hidup dalam budayanya. Mereka bekerja, mereka memiliki pengetahuan, menggunakan perlengkapan dan peralatan. Mereka punya cara hidup bekerja sama, saling sapa dalam kasih sayang. Maka menjelmalah pendidikan kasih sayang. Wamep yun! (halaman190-191)

 

Tim True menyaksikan bagaimana sekolah diselenggarakan di sana. Memang, gedungnya sederhana, kelasnya pun apa adanya. Namun, dari kesahajaan itu terpancar semangat belajar murid-muridnya, dipandu oleh guru-guru yang penuh dedikasi. Jauh dari semaraknya kehidupan kota tidak membuat surut semangat mereka untuk membelajarkan murid menjadi generasi  yang lebih baik.

 

Mereka mengajar dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada, alam menjadi laboratorium nyata. Prioritas pembelajaran juga dilakukan dengan penuh pertimbangan. Bu Yelmin, salah satu guru di Arso, memberikan perhatian lebih pada mata pelajaran bahasa Indonesia khususnya baca tulis. Dengan berani beliau menggantikan mata pelajaran lain dengan bahasa Indonesia demi memastikan agar semua siswa melek literasi sebelum naik kelas 4.

Benar. Bukan hanya mampu baca tulis, Bu Yelmin mengajar murid-muridnya memahami bacaan dan mampu menceritakannya kembali dengan percaya diri di hadapan teman.

 

Ini terobosan berani. Tanpa gema program literasi yang berlebihan, Bu Yelmin sepenuhnya yakin bahwa membaca adalah modal dasar yang paling kuat bagi anak untuk belajar. Karena itulah, pada saat pelajaran bahasa Indonesia, anak-anak yang sudah lancar membaca diberi buku, membaca, dan mendiskusikan bacaan. Sementara itu, Bu Yelmin membantu anak yang belum lancar membaca. Konsep belajar mandiri diterapkan, guru benar-benar hadir sebagai fasilitator—tugasnya adalah memantik kesadaran belajar anak sehingga mereka bergerak atas kemauan sendiri.

 

Saya melongo. Bahkan beberapa sekolah yang pernah mengundang saya sebagai narasumber terkait gerakan literasi di Bandung pun masih gamang dengan program ini. Masih banyak guru di kota yang bingung  membuat variasi kegiatan 15 menit membaca.

Sementara itu, dengan tekad yang sederhana, membekali anak dengan kemampuan baca tulis, Bu Yelmin sudah melakukannya sejak lama.

 

Karena itulah, bagi saya, buku ini jadi istimewa. Rangkaian kesederhanaan yang dipaparkan membuat saya tersengat rasa malu sekaligus semangat untuk berbuat lebih baik. Buku ini bertutur tentang guru-guru yang berani, dengan pemikiran yang melampaui silabus dan kurikulum formal. Mereka menghadirkan harapan bahwa kebaikan itu bisa lahir dari mana pun selama ada tekad kuat mewujudkannya.

Bukan hanya itu, sesuai dengan judulnya, Teman Tumbuh Teman Belajar menuntun saya menyusuri keindahan Indonesia dari kacamata yang berbeda. Bukan cara pandang wisata yang biasa tersaji melalui layar kaca, tapi paradigma pendidikan yang mengakar tulus, dan bukan basa-basi.

Salam takzim,

Anna Farida

 

Judul: Seri Guru Berani (Nias-Poso-Keerom-Boven Digoel), Teman Tumbuh Teman Belajar

Pemakna: Prof. Dr. Yus Rusyana

Penulis: Kalih Raksasewu, Susana Srini, Musta’ien, Achmad Ferzal

Penerbit: TCA, True Creative Aid, Bogor

Jumlah halaman: 492

Tahun terbit: 2016

Guru Berani: Teman Tumbuh Teman Belajar

guru berani gakal

foto milik Guru Berani

guru berani PR

Resensi ini dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 27 April 2017.

Seperti biasa, versi korannya lebih bagus karena sentuhan editor. Ini versi blognya, lengkap dengan haha hihi seperti biasa juga.

Resensi Buku

Judul: Seri Guru Berani (Nias-Poso-Keerom-Boven Digoel), Teman Tumbuh Teman Belajar

Pemakna: Prof. Dr. Yus Rusyana

Penulis: Kalih Raksasewu, Susana Srini, Musta’ien, Achmad Ferzal

Penerbit: TCA, True Creative Aid, Bogor

Jumlah halaman: 492

Tahun terbit: 2016

Panggilan itu Ada di Sini!

Salah satu teman saya bercerita bahwa salah satu cita-citanya adalah menjadi relawan bagi korban perang di Somalia. Mau mengabdi jadi guru, katanya. Sambil lalu saya tanya, Somalia itu di mana, apa ibu kotanya. Dia meringis dan menjawab, “Apa ya? Aku lupa.”

Saya pun meringis tak kalah lebarnya. Mengabdi pada kemanusiaan sih di Indonesia juga bisa, tak perlu melintasi jarak 7558 kilometer ke negara yang bahkan tidak dia ketahui ibu kotanya.

Mau belajar empati? Kita bisa bertindak lokal sesuai kemampuan. Mau cari tantangan? Mari, saya tunjukkan tantangan yang sesungguhnya: memenangkan harkat dan martabat generasi yang akan datang melalui pendidikan. Saya pun baru saja menemukannya, bukan di daerah rawan konflik di benua lain, tapi di sini, di Indonesia.

Sebelumnya, saya lebih sering menyaksikan potret pendidikan yang kurang ramah di daerah 3T Indonesia (Terluar, Terdepan, Tertinggal) melalui media massa atau media sosial. Ada rasa sedih tapi hanya bisa berkomentar, lalu menyindir pihak berwenang, dan sudah. Permasalahan dianggap selesai ketika saya menuliskannya di media sosial. Tampaknya saya termasuk kawanan yang disebut-sebut Rhenald Kasali sebagai generasi wacana—yang pintar bermain kata tanpa tindakan nyata, omdo alias ngomong doang #manabaskom #tutupmuka.

Tentu, berwacana pun perlu. Ada, kok, perubahan mendasar yang berawal dari diskusi panjang maupun pendek. Dalam dunia pendidikan, diskursus hingga polemik selalu saja hadir, kadang membuat semarak kadang bikin kesal berbagai pihak. Tak jarang orang jadi apatis ketika diajak membahas isu pendidikan.

Namun demikian, saya menemukan letupan semangat nyata yang juga dituangkan secara indah melalui kata-kata, dari sebuah buku berjudul “Teman Tumbuh Teman Belajar.”

Tampilan sampulnya hijau tua, dengan siluet gugusan pulau Indonesia di atasnya. Seri Guru berani yang saya baru saja baca memuat liputan perjalanan yang bermakna di empat wilayah Indonesia: Nias, Poso, Keerom, dan Boven-Digoel.

Walau ada sejumlah salah tik yang mengganggu, melalui cerita  yang ditulis dengan bahasa yang renyah, saya diajak mengunjungi  relung-relung kebijakan yang sebelumnya tersembunyi.

Adalah True, sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendampingan masyarakat untuk menemukan potensi uniknya dan memuliakan masyarakat melalui potensinya tersebut. Diawaki oleh beberapa penulis dan pendidik, sebuah tim dibentuk untuk menyusuri beberapa daerah Indonesia. Tujuannya adalah riset sekaligus belajar dari khasanah kearifan yang tersimpan di sana. Kita coba injakkan langkah ke Poso, sebuah kabupaten di Sulawesi Tengah.

Di sanalah Tim True menemukan konsep harmoni diri, harmoni sesama, harmoni alam. Mapalus (gotong royong), sintuwu maroso (persatuan yang kokoh), dan nosarara nosabatutu (bersama-sama kita satu) adalah kearifan yang senantiasa melekat dalam hidup sehari-hari masyarakat (halaman 75).

Dalam ranah pendidikan, konsep harmoni menjadi kesepakatan dan gerakan bersama untuk menggali kembali dan melestarikan nilai-nilai hidup yang saling menghargai. Pluralisme yang dikampanyekan dalam pergaulan dunia bukan hanya slogan di sini. Seorang guru, Ani Tumakaka, mengimplementasikan makna integrasi budaya ke dalam mata pelajaran sekolah dengan cara yang sangat natural (halaman 155).

Mengawali pelajaran dengan teka-teki, dia membetot perhatian murid-muridnya. Sejak awal pembelajaran, terjalinlah sinapsis demi sinapsis di dalam tempurung kepala mereka, neuron yang satu bertemu dengan neuron yang lain, menghasilkan pengetahuan yang tersimpan dalam memori jangka panjang (Rakhmat: 2005). Inilah belajar yang sesungguhnya!

Tak berhenti di situ, Bu Ani mengajak anak-anak bermain dengan kemiri, benda yang tadi jadi misteri. Olah fisik mengaktifkan anak-anak secara psikomotor, dan membuat mereka kian siap menerima pelajaran. Sambil bermain, Bu Ani memberikan tebak-tebakan dengan materi operasi hitung matematika. Anak-anak menyambutnya dengan penuh antusias—dan dengan kesiapan itulah mereka kemudian masuk kelas, menggambar, dan mempelajari struktur tumbuhan kemiri. Terasa sekali kegembiraan anak-anak saat belajar dan membuat laporan. Mereka bahkan memajang gambar mereka dengan percaya diri.

Seluruh proses pembelajaran yang melibatkan murid secara aktif berjalan tanpa canggung, seolah sudah menjadi keseharian mereka. Sebagai catatan, sekolah ini ada di Tentena, dengan Danau Poso yang melegenda. Semua media yang digunakan Bu Ani pun mendekatkan murid pada keseharian dan pelajaran menjadi bagian yang nyata, bukan konsep abstrak yang susah diingat. Inilah yang disebut oleh Utomo Dananjaya sebagai media pembelajaran aktif (2010).

Rangkaian kisah yang ditemukan kemudian dituliskan dalam buku ini adalah mutiara yang benar-benar harus diperoleh dengan menyelam ke lautan dan membuka cangkang tiram. Tak akan tampak dari permukaan, apalagi hanya dengan memandang pantai dari kejauhan. Itu kelakuan saya ketika lihat air–takut basah, boro-boro menyelam! 😛

Dari buku ini kita belajar, bahwa kesejatian pendidikan adalah perpaduan niat mulia guru dan keterlibatan masyarakat untuk memuliakan generasi yang akan datang. Dalam kesederhanaan, tekat kuat para guru berani ini benar-benar penyala zaman—demikian Prof. Dr. Yus Rusyana menyebutnya.

Di dalam kesahajaan, ada hidden curriculum yang menjaga kecerdasan emosi anak-anak Tentena agar tidak terkikis oleh padatnya materi ajar. Bersama para guru ini kita belajar untuk menyambut panggilan untuk berjuang bersama. Mungkin kelak ada saatnya kita berangkat ke Somalia bersama teman saya itu. Saat ini, di antara deru “industri” pendidikan dan wacana “tingkat tinggi” yang terus didengungkan, kita masih mendengar bahwa panggilan itu ada di sini.

Dari balik jendela kebinekaan Indonesia.

Salam takzim,

Anna Farida

MENCINTAI GENERASI LITERER

generasi litererFor me, opinion is merely curhat with style 😀

Opini ini dimuat di Harian Galamedia 6 Maret 2017. Selamat membaca.

MENCINTAI GENERASI LITERER

Oleh: Anna Farida

Saya membaca “Dunia Sophie”-nya Jostein Gaarder ketika mahasiswa. Setengah mati saya selesaikan buku itu di antara rasa ingin tahu dan rasa malas yang bergantian datang. Entah berapa minggu baru tamat setelah sebagian besar halaman saya lewat. Itu pun saya segera lupa isinya.

22 tahun kemudian, putri saya yang masih SD menamatkan buku yang sama hanya dalam seminggu. Saya bersaksi, dia benar-benar membacanya. Di rumah, buku itu tak pernah lepas dari tangannya. Sesekali dia bertanya apakah saya tahu Aristoteles atau Thomas Aquinas dan saya jawab sekenanya.

Begitu dia menyatakan diri selesai baca, saya penasaran, apa saja yang dia dapat dari novel filsafat yang tebalnya hampir 800 halaman itu.

Jawabnya, “Seru, Bu. Banyak misterinya!”

Rasa ingin tahunya terpuaskan pada halaman 200-an, Sophie bertemu dengan Alberto Knox. Dia kembali kebingungan saat surat-surat buat Hilde bisa sampai ke tangan Sophie, juga ketika muncul misteri lain yang dia ceritakan kepada saya dengan penuh antusias.

Saya penasaran apakah dia pun menyerap materi sejarah dan filsafat yang padat dalam novel itu. Sambil lalu saya uji dia dengan beberapa pertanyaan, dan jawabannya santai saja, “Renaisans? Errr, yang mana, ya? Lupa! Spinoza? Rasanya ada ceritanya, orangnya gendut, tapi lupa juga, sih.”

Hasil investigasi saya membuktikan bahwa dia mencermati dan menikmati jalinan kisahnya dan membaca begitu saja materi filsafatnya. Putri saya harus membaca setiap halamannya karena tak ingin ketinggalan misterinya walau tak paham sebagian besar isinya.

Ini menarik. Buku tebal yang tidak didesain khusus untuk anak bisa mengikat minat anak 10 tahun. Penulisnya sudah pasti piawai. Siapa tak kenal Gaarder.

Walaupun begitu, perlu kita sadari bahwa minat baca pada zaman serba layar sentuh ini mulai langka. Bukan hanya pada anak, tapi juga pada orang dewasa yang tahu benar manfaat membaca. Saya sendiri bukan pembaca yang tangguh. Frekuensi dan kualitas bacaan saya biasa saja, tapi bukan berarti saya tidak bisa mendampingi anak-anak menjadi literer. Anda juga bisa. Mari kita upayakan bersama.

 

Jadilah “teladan”

Mengapa ada tanda petik di sana? Siapa tahu kita sejenis—tidak begitu suka membaca. Demi anak-anak, kita bisa berlatih suka. Saya biasa duduk sejenak di dekat mereka, ambil buku, dan membaca. Pandangan saya memang ke buku, sedangkan pikiran saya entah ke mana. Yang penting saya terlihat membaca. Tanpa sengaja, ada juga kalimat yang singgah dalam ingatan saya. Lumayan, kan?

Membaca itu seperti olahraga. Semula saya tidak suka karena membuat badan sakit semua. Saya melakukannya karena terpaksa, terengah-engah berlari keliling lapangan, demi kesehatan dan kebugaran (baca: demi mengurangi berat badan). Lama-lama saya merasakan manfaatnya dan mulai menjadikan olahraga sebagai gaya hidup.

Sama halnya dengan membaca, awalnya berat. Saya harus bertarung dengan kantuk padahal baru dapat dua halaman, belum lagi godaan untuk berhenti karena berbagai alasan. Saya kondisikan diri saya membaca, sambil paham atau sambil melamun, sukarela atau terpaksa, semoga lama-lama jadi benar-benar suka.

 

Akrabkan rumah dengan bacaan

Yang dimaksud dengan bacaan bukan hanya buku. Kita bisa membiasakan menulis pesan pada anggota keluarga. Daftar tugas rumah tangga, catatan belanjaan, hingga pesan-pesan cinta bisa ditempel di tempat-tempat yang strategis. Kebiasaan ini pada gilirannya juga membangun minat menulis pada anak.

Sebar buku pada tempat yang mudah dijangkau anak, sabar jika buku berserakan di seluruh penjuru rumah. Menggerutu saat anak lupa mengembalikan buku ke rak akan mengurangi kesenangan mereka membaca. Membiarkan buku berhamburan buka berarti mengabaikan tanggung jawab. Tentukan prioritas, mau membiasakan tanggung jawab dulu atau minat baca dulu. Dua-duanya bersamaan? Saya sih tidak bisa. Saya pilih minat baca, dan mengalah saat saya yang harus beres-beres bekasnya. Setelah kebiasaan baca terbangun, baru perlahan saya minta mereka ikut rapi-rapi—walau ini jarang terjadi. Saya lebih suka buku tertebar daripada tertata diam di rak dan menjadi hunian nyaman laba-laba.

 

Variasikan jenis bacaan

Izinkan anak membaca berbagai jenis buku—sesuai jenjang usianya, tentu. Pada tahap awal, hindari buku yang padat informasi ala buku pelajaran. Tak perlu cemas, mereka sudah banyak mendapatkan genre ini di sekolah.

Pilihkan buku-buku cerita, misalnya. Membaca fiksi diyakini membantu anak memperkuat daya ingat jangka panjang. Menurut pakar literasi, Sofie Dewayani, buku cerita bergambar membantu anak mencermati komunikasi nonverbal. Imajinasi anak bebas berkembang, kecintaan pada membaca juga akan terbangun secara sukarela.

Dukung hobi anak dengan memberinya bacaan terkait. Anak yang suka sepak bola akan tertarik membaca komik bertema bola atau biografi pemain idolanya. Berita aktual terkait sepak bola juga akan memancing minat bacanya.

Bagi balita, sediakan beragam buku aktivitas yang bisa dicoret dan dirobek. Untuk anak yang lebih besar, variasikan dengan komik, buku TTS, majalah, hingga buku petunjuk penggunaan hape, misalnya.

 

Carikan teman

Ini zaman media sosial, saat urusan pribadi jadi kabar dunia. Saat melakukan kebaikan, terasa bahwa dukungan teman cukup besar pengaruhnya, termasuk teman maya. Untuk remaja, melibatkan media sosial untuk mengungkit minat baca bisa jadi jalan tengah. Anjurkan mereka untuk membahas buku dengan teman di sela chat. Jika mereka masih enggan, temani, carikan teman. Ajak teman-teman Anda yang punya anak remaja untuk membuat klub baca jarak jauh, misalnya.

 

Bukan sulap

Dalam beberapa kesempatan saya menyebut membangun minat baca pada era gadget seperti ilusi tingkat tinggi. Bagaimana mau menciptakan ilusi sedangkan saya bukan tukang sulap? Jajal upaya di atas, erami dengan ketekunan. Jangan berharap hasilnya instan dan menakjubkan seperti main sulap.

Salam literasi.

—————

Anna Farida, kepala Sekolah Perempuan, penulis “Biasa Baca Sejak Balita”—bisa diunduh gratis via Google.

MENGGAGAS PENDIDIKAN IBU

galamedia-anna-farida-pendidikan-ibuOpini ini dimuat di Harian Galamedia, 22 Desember 2016. Seperti biasa, tulisan saya di koran lebih padat, berisi, rapi. Terima kasih kepada editornya yang jeli menatanya.

Ini versi aslinya, ampuni kealpaannya 😀

 

Muasal pendidikan adalah keluarga sebagai lingkungan terdekat bagi anak. Sentuhan pendidikan pertama yang dirasakan seorang bayi diharapkan berasal dari keluarga yang memiliki cinta kasih dan  daya dukung positif bagi perkembangannya. Alih-alih isu pengarusutamaan gender yang pernah dan masih menguat, dalam umumnya budaya Indonesia, peran pengasuhan dan pendidikan masih menjadi tanggung jawab ibu (Tobit dalamTim Pengembang Imu Pendidikan FIP-UPI, 2007: 309). Di pundak para ibu kualitas pendidikan anak disandarkan.

Di negara maju, pendidikan bagi perempuan dan laki-laki sama pentingnya. Di negara berkembang dan belum berkembang, pendidikan bagi perempuan jauh lebih penting berdasarkan alasan sosial ekonomi. Terkait dengan perbaikan generasi, pendidikan untuk ibu dan calon ibu menjadi kebutuhan yang mendesak. Jika seorang perempuan memiliki pendidikan memadai, anak-anaknya akan memperoleh manfaat berupa berbagai pencerahan dan pengalaman belajar dari ibunya. Di bawah pengasuhannya, semua anggota keluarga akan terdidik (Gupta, N.L. (2000), Woman Education through Ages, New Delhi: Concept Publishing Company).

Sementara itu, data dari Badan Pusat Statistik 2009 memperlihatkan bahwa 75,69% perempuan usia 15 tahun ke atas hanya tamat SMP ke bawah. Mayoritas perempuan, 30,70%, hanya lulus SD. Bisa dimengerti mengapa 4,2 juta perempuan, artinya sekitar 70% dari Tenaga Kerja Indonesia adalah perempuan—dan sebagian besar bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Berikutnya, data BPS tahun 2010 mencatat 12,26% perempuan Indonesia menikah pertama kali pada usia 10-15 tahun, 32.46% pada usia 16-18 tahun. Artinya, 45% perempuan Indonesia menikah pertama kali sebelum mereka berusia 19 tahun.

Pada usia 19 tahun, idealnya mereka masih belajar di perguruan tinggi. Kajian yang dilakukan oleh Bank Dunia di 25 negara berkembang, Gender Equality and The Millenium Development Goals (2003) memperlihatkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan seorang ibu berdampak langsung pada gizi buruk dan rendahnya kualitas pengasuhan terhadap anak. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa jika perempuan bersekolah satu hingga tiga tahun lebih lama, angka kematian anak bisa turun hingga 15%. Dengan masa sekolah yang sama pada laki-laki, angka kematian anak yang berhasil diturunkan adalah 6%.

Data tersebut menunjukkan bahwa peran perempuan terhadap pendidikan bahkan keselamatan anak sangat krusial. Tentu, yang dimaksud dengan pendidikan pada era sekarang bukan lagi sekadar melek aksara. Cakupan pendidikan yang mesti dimiliki perempuan masa kini sungguh luas sekaligus kompleks.

Karenanya, untuk menjaga kesinambungan belajar, pendidikan digital bisa jadi jembatan. Para ibu tetap memiliki peluang untuk “kuliah” tanpa meninggalkan rumah.  Mereka bisa mengikuti berbagai kursus online yang disediakan melalui berbagai platform dengan biaya murah hingga gratis. Banyak universitas terkemuka di dunia menawarkan kursus online dengan aneka pilihan materi. Kini berbagai universitas dan lembaga di Indonesia pun menawarkan kursus yang tak kalah menarik. Kursus disampaikan melalui sistem yang mudah diakses dan waktu yang fleksibel.

Ada pula kursus yang diselenggarakan melalui grup-grup media sosial atau aplikasi chat group yang lebih praktis. Prinsipnya, kemauan untuk mengakses pintu demi pintu adalah kunci awalnya, media atau sarana yang digunakan bisa apa saja. Setelah itu, para ibu bisa memperoleh keuntungan tak terduga seperti:

  • Pilihan sangat luas. Mereka bisa memilih berbagai materi sesuai minat: memasak, menjahit, politik, sastra, mesin, biologi, seni, dan masih banyak lagi
  • Menjadi teladan. Dengan menjadi pembelajar tiada henti, ibu menjadi teladan dalam penggunaan internet positif. Keluarga sebagai pusat belajar dengan sendirinya terwujud.
  • Biaya murah. Banyak kursus yang berkualitas dan gratis, bahan belajar pun bisa diakses dengan mudah.
  • Suasana belajar yang nyaman. Karena kelas online bisa diakses dari mana pun, para ibu tak perlu buru-buru meninggalkan rumah dan kehilangan waktu paling berharga bagi keluarga. Mereka bisa memilih waktu belajar yang paling efektif, misalnya tengah malam atau menjelang pagi.
  • Interaksi antar peserta fleksibel. Bagi pembelajar yang malu-malu, kelas online memberikan ruang yang lebih leluasa untuk ikut berekspresi.
  • Konsep diri yang seimbang. Suasana akademis dalam diri ibu akan terus terjaga, pengetahuan dan wawasan mereka terus berkembang, sehingga self esteem pun seimbang.
  • Jejaring kebaikan. Melalui kelas-kelas online, para ibu menemukan teman-teman dengan minat yang sama dan bisa saling bekerja sama dalam kebaikan.
  • Belajar hal baru, bertemu teman baru, dan mendapatkan kepercayaan diri (kembali) tentu hal yang menyenangkan. Belajar untuk kesenangan, mengapa tidak?

Bagi perempuan, dengan segala kendala dan kesibukannya, ketersediaan internet dan berbagai platform pendidikan digital memberikan jalan untuk terus belajar. Kunci utamanya tentu kemauan yang datang dari diri sendiri dan kemauan untuk mengajak orang lain belajar bersama.

E-learning juga memberikan rasa percaya diri bagi para ibu bahwa mereka mampu mendidik anak-anak menjadi generasi terbaik. Keyakinan ini akan berimplikasi pada cara mereka mengasuh anak-anak, memberikan pilihan-pilihan terbaik kepada anak, sekaligus menjadi teladan bagi anak sebagai pembelajar mandiri.

Ruang pendidikan digital ini demikan luas, namun belum dieksplorasi secara optimal. Ajakan secara terus menerus kepada masyarakat melalui berbagai lini informasi wajib disampaikan. Pendekatan pribadi hingga pendekatan kelembagaan bisa diupayakan agar masyarakat Indonesia, khususnya perempuan, memahami jenis pendidikan ini sebagai alternatif yang istimewa.

Melalui kelas-kelas online, kita bisa menjangkau pendidikan yang berkualitas. Aksesnya terbuka bagi semua kalangan. Bukan mustahil bahwa pendidikan di zaman ini sudah semestinya mudah, murah, dan berkualitas dunia.

Selamat Hari Ibu.

———————-

Anna Farida, Kepala Sekolah Perempuan, penulis buku-buku pendidikan. www.annafarida.com

Artikel ini disarikan dari jurnal ilmiah berjudul Preserving Sustainability Of Mothers’ Education Through Digital Classes yang disampaikan penulis dalam International Conference on Education in Indonesia di Universitas Singaperbangsa Karawang.

Haruskah EYD Jadi EBI?

media eyd ebi

EYD jadi EBI

Kita pernah merumpikan topik ini, kan? HU Pikiran Rakyat memuatnya di rubrik “Wisata Bahasa”, 26 Juni 2016.

Haruskah EYD Jadi EBI?

Oleh: Anna Farida

 

Seminggu ini beberapa pertanyaan bernada sama masuk ke kotak pesan saya.

Mbak Anna, beneran, EYD jadi EBI? Kok seperti nama udang kering?

 

Sebenarnya saya juga baru dua tiga minggu ini mendengar kabar terbitnya Salinan Permendikbud Nomor 50 Tahun 2015 Tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Nah, kan, singkatannya memang EBI. Sampai sekarang saya masih canggung setelah sekian lama menggunakan istilah EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).

 

Saat membandingkan kedua pedoman itu dari sisi sistematika maupun isi secara sepintas, tak saya temukan perbedaan yang mendasar. Ada tambahan pedoman penggunaan huruf tebal dalam kata berhuruf miring, ada perbedaan urutan penggunaan kata serapan, selebihnya belum saya baca secara terperinci.

 

Dalam perjalanannya, EYD tiga kali diperbarui. Kita mengenal versi 1975, 1987, dan 2009. Versi 2015 ini adalah pedoman bahasa Indonesia yang mutakhir, dan frasa “yang disempurnakan” tidak lagi digunakan dalam permendikbud di atas. Jadi boleh, dong, dijuluki EBI. Nama baru, semangat baru.

 

Tanpa lebih jauh mengulas apa yang membuat EYD berbeda dari EBI, atau mempertanyakan apakah namanya tetap EYD atau menjadi EBI, bagi saya perubahan itu kemestian. Bahasa adalah sarana manusia berkomunikasi, berasal dari kesepakatan para penggunanya, yang kemudian dibakukan.

 

Manusia selalu berubah, jadi wajar jika bahasa pun bergerak dinamis. Kita beruntung jadi manusia yang lahir belakangan, jadi tak perlu ikut repot mengumpulkan kata demi kata, menetapkan maknanya, dan merumuskan cara penulisannya. Saya lahir saat bahasa Indonesia sudah punya kamus,  siap guna, tinggal pakai. Kamus Besar Bahasa Indonesia sudah dicetak dengan kertas, tak terserak di bebatuan atau daun lontar. Lebih dari itu, kini kita menikmati kamus elektronik yang sangat praktis, bisa digenggam ke mana-mana dalam telepon pintar.

 

Beberapa kali aturan berbahasa Indonesia memang mengalami perubahan karena berbagai pertimbangan. Kita seharusnya menyambutnya dengan gembira. Perubahan, walau sedikit saja, adalah tanda bahwa kita adalah manusia yang terus tumbuh menyempurna. Dari berbagai sisi, bahasa di seluruh dunia akan terus berubah—bisa berkembang, meluas, bisa juga hilang digantikan bahasa lain. Coba perhatikan, berapa persen anak-anak kita yang aktif menggunakan bahasa ibu dalam komunikasi sehari-hari?

Kita juga mengenal bahasa yang dihidupkan dari kematian—bahasa yang pernah lama dilupakan sejarah—dan kini  jadi bahasa yang ikut berkuasa di dunia. Anda tahu, kan, bahasa apa itu?

 

Jadi, terbitnya EBI adalah peluang bagi para pengguna bahasa Indonesia untuk belajar ulang dan melakukan penyesuaian—toh perubahannya tidak banyak. Munculnya aturan baru akan membuat kita diingatkan untuk tetap menjadi bagian yang aktif dalam perkembangan bahasa Indonesia. Tak ada yang lebih berhak dan wajib menjaga sekaligus mengembangkan bahasa ini selain kita—saya dan Anda.

 

Kini saatnya kita bisa nyeletuk kepada anak-anak di rumah atau di sekolah, “EYD jadi EBI, lho.”

Lantas anak-anak akan bertanya, “Apa, sih, EYD? Apa pula itu EBI?”

Itulah kesempatan emas untuk menjelaskan bahwa kita punya bahasa Indonesia, kita punya pedomannya. Anak-anak mesti tahu bahwa mereka mewarisi bahasa yang sudah berkembang dan melintasi berbagai peristiwa penting, bahkan saat mereka masih melayang-layang di alam ruh.

 

Saya gembira, walau sebenarnya hati saya agak mencelus juga. Dalam permendikbud yang baru terbit itu disebutkan bahwa Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Sudah lama EYD menemani saya menulis bersama banyak teman, hingga menghasilkan buku eletronik “Bercanda dengan EYD”. Anda bisa mengunduhnya secara gratis via internet.

 

Inilah perjalanan bahasa kita, proses besar yang wajib dirayakan. Kita bersyukur bahasa Indonesia didudukkan pada tempatnya yang semestinya, lengkap dengan pedoman yang dilindungi hukum. Terima kasih, EYD, selamat datang Ejaan Bahasa Indonesia, selamat datang EBI.

————————-

Anna Farida, penulis, kepala Sekolah Perempuan, narasumber “Dunia Pendidikan” RRI Pro-4 Bandung.